Berusaha Tegar
“Oh Tuhan! Sudah pagi! Aku bisa terlambat ke sekolah! Bagaimana ini? Kenapa Bunda nggak bangunin aku?” batinnya panik. Ia kemudian mencoba bangun. Tapi, badannya yang lemah dan sakit di kepalanya, mengharuskan ia kembali berbaring. Dirasakannya perutnya terasa begitu mual.
Masih terlihat kepanikan diwajahnya. Diperhatikannya sekelilingnya. Tak lama kemudian, ia sadar akan sesuatu.
“Ini kan bukan kamarku. Di mana ini?” pikirnya melihat ruangan putih dengan sofa merah marun dan tempat tidur serta selimut putih yang ditidurinya. Dilihatnya pula masker oksigen di hidungnya dan beberapa kabel di tubuhnya yang terhubung dengan elektrokardiogram.
“Deviska.. Deviska. Masa kamu belum sadar juga sih? Ini kan rumah sakit..” ujarnya kepada dirinya sendiri.
“Tapi, kenapa aku ada di rumah sakit? Sekarang hari apa?” batinnya. Dikumpulkannya semua kekuatannya, meski perutnya masih terasa mual.
“Bunda..” panggilnya pelan.
“Bunda... Bunda...” dicobanya lebih keras.
Terlihat dari kejauhan bundanya segera bangun dan menghampirinya.
“Kamu sudah sadar nak?” tanya sang Bunda cemas ditengah wajahnya yang lelah.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska lirih.
“Kemarin sepulang sekolah, Bunda melihat kamu berbaring di tempat tidur. Bunda kira kamu tidur. Tapi, kamu tidak bergerak sayang.. Jadi, karena panik, Bunda lalu membawa kamu ke Rumah Sakit ini. Kata Dokter keadaan kamu sangat kritis. Bunda sangat takut kehilangan kamu nak... Tapi, Bunda sangat senang, sekarang kamu sudah bangun dari komamu Ika, anak Bunda..” jelas Sang Bunda sedikit menitikkan air mata. Viska terdiam.
“Bunda.. Mual..” keluh Viska.
“Oh iya.. Saking senangnya, Bunda sampai lupa untuk memanggil Dokter sayang.. Tunggu sebentar, Bunda panggil dulu ya! Kamu jangan bangun dulu dari tempat tidur! Jangan tinggalin Bunda ya nak..” ujar Ibunda Viska, dan kemudian berlari ke luar ruangan.
“Bunda sampai segitunya. Separah apa sih sakitku?” batinnya di tengah kesendiriannya.
Mual di perutnya makin menjadi-jadi. Dicobanya untuk menahan, tapi semakin ditahan, mual itu tak tertahankan. Akhirnya, dengan kekuatannya yang tersisa, dicobanya untuk bangun.
Dilihatnya ada pintu bertuliskan Toilet di kiri tempat tidurnya. Dilepaskannya masker oksigen dan beberapa kabel yang menempel ditubuhnya. Tapi, kepalanya kemudian terasa sangat berat, lebih berat dari sebelumnya. Perlahan ia bangun, mencoba menegakkan tubuhnya. Tapi, belum sempat ia melangkah, dirasakannya paru-parunya tak bisa bernafas dengan normal. Hingga ia merasa tak kuat menahannya, dan ia ambruk kembali.
* * *
“Suster, siapkan alat-alatnya!” teriak seorang lelaki memakai jas putih yang datang bersama Ibunda Viska. Ibunda Viska terlihat sangat panik mendapati anaknya terkulai lemas di lantai.
Dengan sigap salah satu suster rumah sakit memasang masker oksigen, dan menempelkan kabel-kabel pada tubuh Viska. Namun elektrokardiogram tidak menunjukkan adanya denyut apapun.
Suster satunya lalu menyiapkan suatu alat yang lebih mirip sepasang setrika yang diisi suatu cairan. Dokter lalu mengambil alat tersebut dan menggosok-gosokkannya.
“Satu.. Dua.. Tiga!” Dokter memberi aba-aba dan meletakkan sepasang alat yang mirip setrika itu ke dada Viska. Terlihat tubuh Viska mengejang. Namun elekrokardiograf tidak menunjukkan reaksi apapun.
“Satu.. Dua.. Tiga!” seru Dokter untuk yang kedua kalinya. Kembali dokter meletakkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang, namun elektrokardograf masih tak menunjukkan adanya reaksi. Terlihat dari kejauhan ibunda Viska membaca doa sambil menitikkan air mata.
“Tuhan memberkati! Satu.. Dua.. Tiga!” seru dokter untuk yang ke tiga kalinya, dan menempelkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang untuk yang ketiga kalinya. Tapi, akhirnya lektrokardogram menunjukkan adanya denyutan.
“Selamat datang kembali Deviska..” ucap Dokter sambil menyerahkan alat itu kepada suster.
Ibunda Viska berlari menghampiri anaknya. Dipeluknya sang anak erat-erat, seolah tak membiarkan seorang pun merebutnya.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska yang tersadar di pelukan sang bunda.
“Tadi kamu ninggalin Bunda nak.. Tapi, sekarang kamu sudah kembali. Bunda nggak akan ngebiarin kamu pergi lagi...” jawab sang Bunda menitikkan air mata.
Viska tak sepenuhnya mengerti dengan perkataan bundanya. Tapi ia sangat nyaman berada dalam dekapan hangat orang yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
* * *
“Bunda.. Ika pulang.. Itu surat apa Bunda? Hasil lab kemarin ya?” tanya Viska baru tiba di rumah ketika melihat ibundanya menitikkan air mata membaca sesuatu dari amplop coklat besar yang ada dalam genggamannya.
“Ah, bukan surat apa-apa.. Hanya surat tak berharga..” jawab ibundanya segera memasukkan surat itu kedalam amplopnya.
“Bunda bohong!! Bunda, Viska bukan anak kecil lagi yang mudah bunda bohongi.. Viska bisa baca tulisan di amplop itu. Viska sakit apa bunda?” tanya Viska.
“Ah, tidak.. Kamu tidak apa-apa kok sayang..” jawab ibundanya mencoba tidak terisak.
“Sudahlah Bunda! Tak ada yang perlu Bunda tutup-tutupi!” ujar Viska merebut amplop coklat besar itu.
“Apa? Ika.. Ika sakit kanker otak stadium 2? Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin!!!” teriak Viska begitu membaca hasil laboratorium dan melihat hasil ronsen otaknya.
“Nak, tenang nak.. Bunda juga tak percaya..” ujar ibunda Viska memeluk anaknya.
“Ika.. Ika akan mati bunda..” isak Viska.
“Nggak sayang.. Nggak! Kamu akan terus hidup sama mama..” jawab ibunda Viska juga terisak.
“Nak, nanti ikut bunda ke rumah sakit ya! Dokter menyarankan, agar kamu diterapi radiasi dan kemoterapi.. Karena letak kankermu berada di sistem saraf. Jadi, tidak memungkinkan untuk operasi..” ujar ibunda Viska melepaskan pelukannya.
“Nggak! Ika nggak mau terapi radiasi atau kemoterapi! Kalaupun Ika emang musti mati, Ika nggak mau mati botak Bunda! Dan Ika juga nggak mau menghabiskan sisa waktu Ika di rumah sakit! Ika nggak mau! Biarkan Ika hidup normal seperti orang sehat lainnya! Ika ingin memanfaatkan sisa waktu Ika untuk ngelakuin hal yang Ika sukai! Kalau hanya minum obat, okey Ika lakuin! Tapi, tidak dengan rumah sakit, terapi radiasi atau kemoterapi! Tolong ngertiin Ika Bunda!” ujar Viska meneteskan air mata..
“Tapi nak..” belum selesai ibundanya bicara, Viska sudah berlari menuju kamarnya. Kenang ibunda Viska mengingat enam bulan yang lalu, ketika Viska divonis kanker otak stadium 2 oleh dokter. Dilihatnya putrinya sedang tertidur pulas.
“Viska pasti menderita dengan masker oksigen itu..” pikir ibunda Viska. Ditatapnya putrinya lekat-lekat, sampai kehadiran dokter membuyarkan lamunannya.
* * *
Cicit burung bersahutan menyambut datangnya pagi. Taman rumput yang mengelilingi lorong-lorong putih itu nampaknya masih basah oleh embun. Beberapa wanita muda dengan seragam putihnya sudah lalu lalang melintasi lorong tersebut. Ada yang mendorong seseorang di kursi roda, ada pula yang mendorong meja aluminium berisi berbagai peralatan. Kadang ada bapak-bapak atau wanita paruh baya mengenakan jas putih lewat dengan steteskopnya. Tapi, kamar 303 Rumah Sakit Suka Sehat terlihat sepi, hanya beberapa kali terdengar suara elektrokardiograf berbunyi.
“Jam berapa sekarang?” batin Viska, sadar dari komanya. Dilihatnya sang bunda sedang tidur pulas di sofa dengan wajah kelelahan. Diliriknya jam bulat yang tergantung di tembok krem menghadap tempat tidurnya. Pukul 07.15.“Oh Tuhan! Sudah pagi! Aku bisa terlambat ke sekolah! Bagaimana ini? Kenapa Bunda nggak bangunin aku?” batinnya panik. Ia kemudian mencoba bangun. Tapi, badannya yang lemah dan sakit di kepalanya, mengharuskan ia kembali berbaring. Dirasakannya perutnya terasa begitu mual.
Masih terlihat kepanikan diwajahnya. Diperhatikannya sekelilingnya. Tak lama kemudian, ia sadar akan sesuatu.
“Ini kan bukan kamarku. Di mana ini?” pikirnya melihat ruangan putih dengan sofa merah marun dan tempat tidur serta selimut putih yang ditidurinya. Dilihatnya pula masker oksigen di hidungnya dan beberapa kabel di tubuhnya yang terhubung dengan elektrokardiogram.
“Deviska.. Deviska. Masa kamu belum sadar juga sih? Ini kan rumah sakit..” ujarnya kepada dirinya sendiri.
“Tapi, kenapa aku ada di rumah sakit? Sekarang hari apa?” batinnya. Dikumpulkannya semua kekuatannya, meski perutnya masih terasa mual.
“Bunda..” panggilnya pelan.
“Bunda... Bunda...” dicobanya lebih keras.
Terlihat dari kejauhan bundanya segera bangun dan menghampirinya.
“Kamu sudah sadar nak?” tanya sang Bunda cemas ditengah wajahnya yang lelah.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska lirih.
“Kemarin sepulang sekolah, Bunda melihat kamu berbaring di tempat tidur. Bunda kira kamu tidur. Tapi, kamu tidak bergerak sayang.. Jadi, karena panik, Bunda lalu membawa kamu ke Rumah Sakit ini. Kata Dokter keadaan kamu sangat kritis. Bunda sangat takut kehilangan kamu nak... Tapi, Bunda sangat senang, sekarang kamu sudah bangun dari komamu Ika, anak Bunda..” jelas Sang Bunda sedikit menitikkan air mata. Viska terdiam.
“Bunda.. Mual..” keluh Viska.
“Oh iya.. Saking senangnya, Bunda sampai lupa untuk memanggil Dokter sayang.. Tunggu sebentar, Bunda panggil dulu ya! Kamu jangan bangun dulu dari tempat tidur! Jangan tinggalin Bunda ya nak..” ujar Ibunda Viska, dan kemudian berlari ke luar ruangan.
“Bunda sampai segitunya. Separah apa sih sakitku?” batinnya di tengah kesendiriannya.
Mual di perutnya makin menjadi-jadi. Dicobanya untuk menahan, tapi semakin ditahan, mual itu tak tertahankan. Akhirnya, dengan kekuatannya yang tersisa, dicobanya untuk bangun.
Dilihatnya ada pintu bertuliskan Toilet di kiri tempat tidurnya. Dilepaskannya masker oksigen dan beberapa kabel yang menempel ditubuhnya. Tapi, kepalanya kemudian terasa sangat berat, lebih berat dari sebelumnya. Perlahan ia bangun, mencoba menegakkan tubuhnya. Tapi, belum sempat ia melangkah, dirasakannya paru-parunya tak bisa bernafas dengan normal. Hingga ia merasa tak kuat menahannya, dan ia ambruk kembali.
* * *
“Suster, siapkan alat-alatnya!” teriak seorang lelaki memakai jas putih yang datang bersama Ibunda Viska. Ibunda Viska terlihat sangat panik mendapati anaknya terkulai lemas di lantai.
Dengan sigap salah satu suster rumah sakit memasang masker oksigen, dan menempelkan kabel-kabel pada tubuh Viska. Namun elektrokardiogram tidak menunjukkan adanya denyut apapun.
Suster satunya lalu menyiapkan suatu alat yang lebih mirip sepasang setrika yang diisi suatu cairan. Dokter lalu mengambil alat tersebut dan menggosok-gosokkannya.
“Satu.. Dua.. Tiga!” Dokter memberi aba-aba dan meletakkan sepasang alat yang mirip setrika itu ke dada Viska. Terlihat tubuh Viska mengejang. Namun elekrokardiograf tidak menunjukkan reaksi apapun.
“Satu.. Dua.. Tiga!” seru Dokter untuk yang kedua kalinya. Kembali dokter meletakkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang, namun elektrokardograf masih tak menunjukkan adanya reaksi. Terlihat dari kejauhan ibunda Viska membaca doa sambil menitikkan air mata.
“Tuhan memberkati! Satu.. Dua.. Tiga!” seru dokter untuk yang ke tiga kalinya, dan menempelkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang untuk yang ketiga kalinya. Tapi, akhirnya lektrokardogram menunjukkan adanya denyutan.
“Selamat datang kembali Deviska..” ucap Dokter sambil menyerahkan alat itu kepada suster.
Ibunda Viska berlari menghampiri anaknya. Dipeluknya sang anak erat-erat, seolah tak membiarkan seorang pun merebutnya.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska yang tersadar di pelukan sang bunda.
“Tadi kamu ninggalin Bunda nak.. Tapi, sekarang kamu sudah kembali. Bunda nggak akan ngebiarin kamu pergi lagi...” jawab sang Bunda menitikkan air mata.
Viska tak sepenuhnya mengerti dengan perkataan bundanya. Tapi ia sangat nyaman berada dalam dekapan hangat orang yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.
* * *
“Bunda.. Ika pulang.. Itu surat apa Bunda? Hasil lab kemarin ya?” tanya Viska baru tiba di rumah ketika melihat ibundanya menitikkan air mata membaca sesuatu dari amplop coklat besar yang ada dalam genggamannya.
“Ah, bukan surat apa-apa.. Hanya surat tak berharga..” jawab ibundanya segera memasukkan surat itu kedalam amplopnya.
“Bunda bohong!! Bunda, Viska bukan anak kecil lagi yang mudah bunda bohongi.. Viska bisa baca tulisan di amplop itu. Viska sakit apa bunda?” tanya Viska.
“Ah, tidak.. Kamu tidak apa-apa kok sayang..” jawab ibundanya mencoba tidak terisak.
“Sudahlah Bunda! Tak ada yang perlu Bunda tutup-tutupi!” ujar Viska merebut amplop coklat besar itu.
“Apa? Ika.. Ika sakit kanker otak stadium 2? Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin!!!” teriak Viska begitu membaca hasil laboratorium dan melihat hasil ronsen otaknya.
“Nak, tenang nak.. Bunda juga tak percaya..” ujar ibunda Viska memeluk anaknya.
“Ika.. Ika akan mati bunda..” isak Viska.
“Nggak sayang.. Nggak! Kamu akan terus hidup sama mama..” jawab ibunda Viska juga terisak.
“Nak, nanti ikut bunda ke rumah sakit ya! Dokter menyarankan, agar kamu diterapi radiasi dan kemoterapi.. Karena letak kankermu berada di sistem saraf. Jadi, tidak memungkinkan untuk operasi..” ujar ibunda Viska melepaskan pelukannya.
“Nggak! Ika nggak mau terapi radiasi atau kemoterapi! Kalaupun Ika emang musti mati, Ika nggak mau mati botak Bunda! Dan Ika juga nggak mau menghabiskan sisa waktu Ika di rumah sakit! Ika nggak mau! Biarkan Ika hidup normal seperti orang sehat lainnya! Ika ingin memanfaatkan sisa waktu Ika untuk ngelakuin hal yang Ika sukai! Kalau hanya minum obat, okey Ika lakuin! Tapi, tidak dengan rumah sakit, terapi radiasi atau kemoterapi! Tolong ngertiin Ika Bunda!” ujar Viska meneteskan air mata..
“Tapi nak..” belum selesai ibundanya bicara, Viska sudah berlari menuju kamarnya. Kenang ibunda Viska mengingat enam bulan yang lalu, ketika Viska divonis kanker otak stadium 2 oleh dokter. Dilihatnya putrinya sedang tertidur pulas.
“Viska pasti menderita dengan masker oksigen itu..” pikir ibunda Viska. Ditatapnya putrinya lekat-lekat, sampai kehadiran dokter membuyarkan lamunannya.
* * *
Categories:
klo mau selengkapnya, tunggu tanggal terbitnya... hohohhoho...
ReplyDelete