.....
“Bagaimana kondisi anak saya dok?” tanya ibunda Viska.
“Kanker di otaknya, telah menyebar ke sistem pernafasan dan organ lainnya, termasuk hati. Lebih cepat dari yang saya duga. Mungkin karena pengaruh psikologi..” jawab seorang lelaki paruh baya yang dipanggil dokter tersebut terhenti.
“Lalu dok?” tanya ibunda Viska sedikit terisak.
“Melihat hasil dari laboratorium dan kondisi Viska saat ini, saya rasa kankernya sudah mencapai stadium 3...” jawab sang dokter.
“Apakah Viska masih bisa disembuhkan dok?” tanya ibunda Viska meneteskan air mata.
“Saya rasa, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Kamu tidakmungkin melakukan operasi karena jaringan kanker yang telah meluas. Mungkin masih bisa dengan melakukan kemoterapi atau terapi radiasi. Tapi, kenapa ibu tidak mencobanya saat penyakit Viska baru diketahui?” tanya sang dokter.
“Saat mengetahui dirinya sakit kanker otak stadium 2, Viska sangat hancur dok. Saya sudah pernah mengajaknya untuk melakukan kemoterapi dan terapi radiasi, tapi dia tidak mau dok.. Dia bilang, dia nggak mau mati botak..” jelas ibunda Viska dalam tangis.
“Kalau itu memang keinginan Viska, baiklah.. Tapi, saya sarankan untuk terus dan teratur untuk minum obat! Setidaknya itu bisa mengurangi rasa sakitnya.. ” ujar sang dokter.
“Baiklah dok.. Akan saya coba. Terima kasih dok..” jawab ibunda Viska sambil menyalami tangan sang dokter.
Ibunda Viska lalu beranjak keluar ruangan. Dihapusnya air mata yang menggelayut di pelupuk matanya yang lelah.
“Aku harus kuat! Aku harus tegar! Bagaimana aku bisa menguatkan Viska, kalau aku sendiri tidak kuat? Aku harus bisa ikhlas atas penyakit Viska..” tekadnya di lorong rumah sakit itu.
* * *
“Bunda, dokter bilang apa?” tanya Viska yang sudah membaik.
“Dokter bilang, kanker diotakmu mencapai stadium 3 dan sudah menyebar ke organ vital seperti paru-paru dan hati.. Kamu yang sabar ya nak..” jawab ibunda Viska membelai rambut hitam anaknya.
“Oh, okey.. Ika akan berusaha tegar kok bunda.. Bunda juga ya! Bunda juga jangan terlalu sedih kalau nanti Ika pergi ninggalin Bunda.. Maafin Ika ya Bunda, kalau Ika udah nyusahin Bunda.. Maafin Ika juga karena Ika belum bisa ngebahagiain Bunda...” ujar Viska.
“Kamu jangan ngomong gitu nak.. Bagi Bunda, kamu adalah anugerah terindah yang pernah Bunda miliki. Sekarang kamu istirahat ya nak...” jawab ibunda Viska.
“Bunda, Ika bosen disini.. Ika nggak mau dirawat di rumah sakit Bunda! Ika mau rawat jalan kayak biasanya..” pinta Viska.
“Ya, untuk sekarang, kamu istirahat di rumah sakit aja ya nak.. Lagipula bukankah sekolahmu meliburkan siswa kelas 1 dan 2 karena ada Ujian Nasional kelas 3?” jawab ibunda Viska.
“Iya sieh.. Tapi, kan ada piket kelas Bunda.. Viska pengen ketemu temen-temen.. Boleh ya Bunda..” pinta Viska.
“Kalau begitu, kenapa tidak suruh teman-temanmu saja yang kemari?” usul ibunda Viska.
“Nggak! Bunda kan tau sendiri.. Ika nggak ngasi tau siapa-siapa kalau Ika lagi sakit.. Nggak mungkin kan, Ika nyuruh temen-temen ngejenguk Ika..” jawab Viska.
“Kenapa kamu tidak memberitahu mereka nak?” tanya ibunda Viska.
“Karena Ika nggak mau orang lain sedih, kalau tau Viska sakit. Dan Ika nggak pengen dikasihani. Ika nggak mau dianggap kayak orang sakit. Ika pengen mereka nganggep Ika kayak orang normal lainnya.. Bunda ngerti kan..” jelas Viska.
“Okey, kalau itu memang maumu. Bunda akan izinkan kamu rawat jalan, pada waktu sekolah..” jawab ibunda Viska.
“Pada waktu piket kelas juga ya, Bunda!” pinta Viska.
“Iya, Ika anak Bunda yang paling manis...” jawab ibunda Viska.
“Makasih Bunda.. Bunda baik deh.. Bunda kok cantik sih bunda..” ujar Viska memeluk bundanya.
“Akan Bunda lakukan apapun untuk membuatmu bahagia nak.. Sebelum.. Vina! Bukankah kamu sudah bertekad untuk berusaha tegar? Kuatkan hatimu!” batin ibunda Viska.
“Aku kan sebenernya udah kangen banget sama Vino.. Aku kangen ngelihat senyumnya. Aku harus tegar! Aku harus kuat melawan sel-sel kanker itu! Kalaupun aku memang harus pulang ke rumah Tuhan, setidaknya aku bisa ngasi kenangan manis sebelum aku pergi..” batin Viska dalam pelukan hangat bundanya.
* * *
“Vino.. Cuma dia adalah penyemangat hidupku.. Mungkin hanya dia yang bisa membuat aku bertahan sampai sejauh ini..” batin Viska.
“Woi.. Kamu nggak denger panggilan untuk ketua kelas dan wakilnya untuk berkumpul di aula ya? Ngapain kamu masih disini?” tegur Kinan mengagetkan Viska.
“Duch, sory.. Sory! Aku nggak konsen nieh! Ngomong-ngomong, Vino mana? Kok nggak keliatan dari tadi?” tanya Viska.
“Ah, palingan dia belum dateng! Buruan gih!” ujar Kinan sambil mengambil sekrop.
Masih dengan sapunya, Viska berlari menuju aula. Telah banyak anak yang berkumpul. Pak guru olah raga baru membuka suara ketika Viska tepat masuk barisan. Sambil mendengarkan Pak Guru, diamainkan pula sapu yang dibawanya. Sampai suatu ketika, dari kejauhan dilihatnya dua sosok lelaki membawa sapu sedang menuju aula. Makin dekat, salah seorang lelaki berlari menuju Viska.
“Kok baru dateng Vin?” tanya Viska pada laki-laki yang baru datang tersebut.
“Iya.. Tadi aku kesiangan..” jawab Vino dengan senyum lebar.
Tak sampai satu menit, segera mereka alihkan perhatian mereka kepada Pak Guru. Setelah puas menyampaikan informasi dan mengelap ludah dibibirnya, Pak Guru membubarkan barisan tersebut.
Viska berjalan bersama Vino menuju ruang kelas. Di tatapnya Viono dalam-dalam. Tak lama kemudian, banyak anak kelas 9 yang berdatangan, untuk menempuh Ujian Nasional mereka.
“Ya... Udah mau pulang... Berarti, aku baru bisa ketemu Vino dua hari lagi donk... Duh.. Seandainya dia ngerti, betapa tersiksanya aku kalau nggak ketemu dia.. Semangat hidupku jadi ilang..” batin Viska ketika berbaris di sebelah Vino di lapangan basket.
“Huf! Inget Viska! Kamu harus tegar! Kamu harus kuat! Ingat? Tuhan sudah mengatur semuanya..” batinnya kemudian mengingatkan tekadnya.
Setelah siswa siswi dibubarkan, segera Viska mengambil sepeda, dan menuntunnya. Dari kejauhan, di lihatnya Vino menuntun sepeda dengan Rezky.
“Sebenarnya, aku ingin pulang bersama mereka.. Tapi, terakhir aku pulang bersama mereka, aku nggak dihiraukan dan akhirnya ditinggalin.. Lebih baik aku pulang sendiri..” batin Viska.
“Aku nggak tau rasa apa ini. Yang aku tau, aku sayang kamu Vino.. Sayang banget.. Kamu adalah alasan, untuk aku tetap berjuang melawan penyakitku.. Tetaplah bersamaku Vino.. Aku tetap ingin bersamamu. Meski mungkin, kamu hanya menganggap aku sebagai sahabatmu...” batin Viska sambil mengayuh sepedanya.
“Bagaimana kondisi anak saya dok?” tanya ibunda Viska.
“Kanker di otaknya, telah menyebar ke sistem pernafasan dan organ lainnya, termasuk hati. Lebih cepat dari yang saya duga. Mungkin karena pengaruh psikologi..” jawab seorang lelaki paruh baya yang dipanggil dokter tersebut terhenti.
“Lalu dok?” tanya ibunda Viska sedikit terisak.
“Melihat hasil dari laboratorium dan kondisi Viska saat ini, saya rasa kankernya sudah mencapai stadium 3...” jawab sang dokter.
“Apakah Viska masih bisa disembuhkan dok?” tanya ibunda Viska meneteskan air mata.
“Saya rasa, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Kamu tidakmungkin melakukan operasi karena jaringan kanker yang telah meluas. Mungkin masih bisa dengan melakukan kemoterapi atau terapi radiasi. Tapi, kenapa ibu tidak mencobanya saat penyakit Viska baru diketahui?” tanya sang dokter.
“Saat mengetahui dirinya sakit kanker otak stadium 2, Viska sangat hancur dok. Saya sudah pernah mengajaknya untuk melakukan kemoterapi dan terapi radiasi, tapi dia tidak mau dok.. Dia bilang, dia nggak mau mati botak..” jelas ibunda Viska dalam tangis.
“Kalau itu memang keinginan Viska, baiklah.. Tapi, saya sarankan untuk terus dan teratur untuk minum obat! Setidaknya itu bisa mengurangi rasa sakitnya.. ” ujar sang dokter.
“Baiklah dok.. Akan saya coba. Terima kasih dok..” jawab ibunda Viska sambil menyalami tangan sang dokter.
Ibunda Viska lalu beranjak keluar ruangan. Dihapusnya air mata yang menggelayut di pelupuk matanya yang lelah.
“Aku harus kuat! Aku harus tegar! Bagaimana aku bisa menguatkan Viska, kalau aku sendiri tidak kuat? Aku harus bisa ikhlas atas penyakit Viska..” tekadnya di lorong rumah sakit itu.
* * *
“Bunda, dokter bilang apa?” tanya Viska yang sudah membaik.
“Dokter bilang, kanker diotakmu mencapai stadium 3 dan sudah menyebar ke organ vital seperti paru-paru dan hati.. Kamu yang sabar ya nak..” jawab ibunda Viska membelai rambut hitam anaknya.
“Oh, okey.. Ika akan berusaha tegar kok bunda.. Bunda juga ya! Bunda juga jangan terlalu sedih kalau nanti Ika pergi ninggalin Bunda.. Maafin Ika ya Bunda, kalau Ika udah nyusahin Bunda.. Maafin Ika juga karena Ika belum bisa ngebahagiain Bunda...” ujar Viska.
“Kamu jangan ngomong gitu nak.. Bagi Bunda, kamu adalah anugerah terindah yang pernah Bunda miliki. Sekarang kamu istirahat ya nak...” jawab ibunda Viska.
“Bunda, Ika bosen disini.. Ika nggak mau dirawat di rumah sakit Bunda! Ika mau rawat jalan kayak biasanya..” pinta Viska.
“Ya, untuk sekarang, kamu istirahat di rumah sakit aja ya nak.. Lagipula bukankah sekolahmu meliburkan siswa kelas 1 dan 2 karena ada Ujian Nasional kelas 3?” jawab ibunda Viska.
“Iya sieh.. Tapi, kan ada piket kelas Bunda.. Viska pengen ketemu temen-temen.. Boleh ya Bunda..” pinta Viska.
“Kalau begitu, kenapa tidak suruh teman-temanmu saja yang kemari?” usul ibunda Viska.
“Nggak! Bunda kan tau sendiri.. Ika nggak ngasi tau siapa-siapa kalau Ika lagi sakit.. Nggak mungkin kan, Ika nyuruh temen-temen ngejenguk Ika..” jawab Viska.
“Kenapa kamu tidak memberitahu mereka nak?” tanya ibunda Viska.
“Karena Ika nggak mau orang lain sedih, kalau tau Viska sakit. Dan Ika nggak pengen dikasihani. Ika nggak mau dianggap kayak orang sakit. Ika pengen mereka nganggep Ika kayak orang normal lainnya.. Bunda ngerti kan..” jelas Viska.
“Okey, kalau itu memang maumu. Bunda akan izinkan kamu rawat jalan, pada waktu sekolah..” jawab ibunda Viska.
“Pada waktu piket kelas juga ya, Bunda!” pinta Viska.
“Iya, Ika anak Bunda yang paling manis...” jawab ibunda Viska.
“Makasih Bunda.. Bunda baik deh.. Bunda kok cantik sih bunda..” ujar Viska memeluk bundanya.
“Akan Bunda lakukan apapun untuk membuatmu bahagia nak.. Sebelum.. Vina! Bukankah kamu sudah bertekad untuk berusaha tegar? Kuatkan hatimu!” batin ibunda Viska.
“Aku kan sebenernya udah kangen banget sama Vino.. Aku kangen ngelihat senyumnya. Aku harus tegar! Aku harus kuat melawan sel-sel kanker itu! Kalaupun aku memang harus pulang ke rumah Tuhan, setidaknya aku bisa ngasi kenangan manis sebelum aku pergi..” batin Viska dalam pelukan hangat bundanya.
* * *
“Vino.. Cuma dia adalah penyemangat hidupku.. Mungkin hanya dia yang bisa membuat aku bertahan sampai sejauh ini..” batin Viska.
“Woi.. Kamu nggak denger panggilan untuk ketua kelas dan wakilnya untuk berkumpul di aula ya? Ngapain kamu masih disini?” tegur Kinan mengagetkan Viska.
“Duch, sory.. Sory! Aku nggak konsen nieh! Ngomong-ngomong, Vino mana? Kok nggak keliatan dari tadi?” tanya Viska.
“Ah, palingan dia belum dateng! Buruan gih!” ujar Kinan sambil mengambil sekrop.
Masih dengan sapunya, Viska berlari menuju aula. Telah banyak anak yang berkumpul. Pak guru olah raga baru membuka suara ketika Viska tepat masuk barisan. Sambil mendengarkan Pak Guru, diamainkan pula sapu yang dibawanya. Sampai suatu ketika, dari kejauhan dilihatnya dua sosok lelaki membawa sapu sedang menuju aula. Makin dekat, salah seorang lelaki berlari menuju Viska.
“Kok baru dateng Vin?” tanya Viska pada laki-laki yang baru datang tersebut.
“Iya.. Tadi aku kesiangan..” jawab Vino dengan senyum lebar.
Tak sampai satu menit, segera mereka alihkan perhatian mereka kepada Pak Guru. Setelah puas menyampaikan informasi dan mengelap ludah dibibirnya, Pak Guru membubarkan barisan tersebut.
Viska berjalan bersama Vino menuju ruang kelas. Di tatapnya Viono dalam-dalam. Tak lama kemudian, banyak anak kelas 9 yang berdatangan, untuk menempuh Ujian Nasional mereka.
“Ya... Udah mau pulang... Berarti, aku baru bisa ketemu Vino dua hari lagi donk... Duh.. Seandainya dia ngerti, betapa tersiksanya aku kalau nggak ketemu dia.. Semangat hidupku jadi ilang..” batin Viska ketika berbaris di sebelah Vino di lapangan basket.
“Huf! Inget Viska! Kamu harus tegar! Kamu harus kuat! Ingat? Tuhan sudah mengatur semuanya..” batinnya kemudian mengingatkan tekadnya.
Setelah siswa siswi dibubarkan, segera Viska mengambil sepeda, dan menuntunnya. Dari kejauhan, di lihatnya Vino menuntun sepeda dengan Rezky.
“Sebenarnya, aku ingin pulang bersama mereka.. Tapi, terakhir aku pulang bersama mereka, aku nggak dihiraukan dan akhirnya ditinggalin.. Lebih baik aku pulang sendiri..” batin Viska.
“Aku nggak tau rasa apa ini. Yang aku tau, aku sayang kamu Vino.. Sayang banget.. Kamu adalah alasan, untuk aku tetap berjuang melawan penyakitku.. Tetaplah bersamaku Vino.. Aku tetap ingin bersamamu. Meski mungkin, kamu hanya menganggap aku sebagai sahabatmu...” batin Viska sambil mengayuh sepedanya.