Sunday, November 29, 2009

Ini setelah yang paling bawahhh...

Posted by Dyah Sathya On Sunday, November 29, 2009
.....

“Bagaimana kondisi anak saya dok?” tanya ibunda Viska.
“Kanker di otaknya, telah menyebar ke sistem pernafasan dan organ lainnya, termasuk hati. Lebih cepat dari yang saya duga. Mungkin karena pengaruh psikologi..” jawab seorang lelaki paruh baya yang dipanggil dokter tersebut terhenti.
“Lalu dok?” tanya ibunda Viska sedikit terisak.
“Melihat hasil dari laboratorium dan kondisi Viska saat ini, saya rasa kankernya sudah mencapai stadium 3...” jawab sang dokter.
“Apakah Viska masih bisa disembuhkan dok?” tanya ibunda Viska meneteskan air mata.
“Saya rasa, kemungkinan untuk sembuh sangat kecil. Kamu tidakmungkin melakukan operasi karena jaringan kanker yang telah meluas. Mungkin masih bisa dengan melakukan kemoterapi atau terapi radiasi. Tapi, kenapa ibu tidak mencobanya saat penyakit Viska baru diketahui?” tanya sang dokter.
“Saat mengetahui dirinya sakit kanker otak stadium 2, Viska sangat hancur dok. Saya sudah pernah mengajaknya untuk melakukan kemoterapi dan terapi radiasi, tapi dia tidak mau dok.. Dia bilang, dia nggak mau mati botak..” jelas ibunda Viska dalam tangis.
“Kalau itu memang keinginan Viska, baiklah.. Tapi, saya sarankan untuk terus dan teratur untuk minum obat! Setidaknya itu bisa mengurangi rasa sakitnya.. ” ujar sang dokter.
“Baiklah dok.. Akan saya coba. Terima kasih dok..” jawab ibunda Viska sambil menyalami tangan sang dokter.
Ibunda Viska lalu beranjak keluar ruangan. Dihapusnya air mata yang menggelayut di pelupuk matanya yang lelah.
“Aku harus kuat! Aku harus tegar! Bagaimana aku bisa menguatkan Viska, kalau aku sendiri tidak kuat? Aku harus bisa ikhlas atas penyakit Viska..” tekadnya di lorong rumah sakit itu.

* * *


“Bunda, dokter bilang apa?” tanya Viska yang sudah membaik.
“Dokter bilang, kanker diotakmu mencapai stadium 3 dan sudah menyebar ke organ vital seperti paru-paru dan hati.. Kamu yang sabar ya nak..” jawab ibunda Viska membelai rambut hitam anaknya.
“Oh, okey.. Ika akan berusaha tegar kok bunda.. Bunda juga ya! Bunda juga jangan terlalu sedih kalau nanti Ika pergi ninggalin Bunda.. Maafin Ika ya Bunda, kalau Ika udah nyusahin Bunda.. Maafin Ika juga karena Ika belum bisa ngebahagiain Bunda...” ujar Viska.
“Kamu jangan ngomong gitu nak.. Bagi Bunda, kamu adalah anugerah terindah yang pernah Bunda miliki. Sekarang kamu istirahat ya nak...” jawab ibunda Viska.
“Bunda, Ika bosen disini.. Ika nggak mau dirawat di rumah sakit Bunda! Ika mau rawat jalan kayak biasanya..” pinta Viska.
“Ya, untuk sekarang, kamu istirahat di rumah sakit aja ya nak.. Lagipula bukankah sekolahmu meliburkan siswa kelas 1 dan 2 karena ada Ujian Nasional kelas 3?” jawab ibunda Viska.
“Iya sieh.. Tapi, kan ada piket kelas Bunda.. Viska pengen ketemu temen-temen.. Boleh ya Bunda..” pinta Viska.
“Kalau begitu, kenapa tidak suruh teman-temanmu saja yang kemari?” usul ibunda Viska.
“Nggak! Bunda kan tau sendiri.. Ika nggak ngasi tau siapa-siapa kalau Ika lagi sakit.. Nggak mungkin kan, Ika nyuruh temen-temen ngejenguk Ika..” jawab Viska.
“Kenapa kamu tidak memberitahu mereka nak?” tanya ibunda Viska.
“Karena Ika nggak mau orang lain sedih, kalau tau Viska sakit. Dan Ika nggak pengen dikasihani. Ika nggak mau dianggap kayak orang sakit. Ika pengen mereka nganggep Ika kayak orang normal lainnya.. Bunda ngerti kan..” jelas Viska.
“Okey, kalau itu memang maumu. Bunda akan izinkan kamu rawat jalan, pada waktu sekolah..” jawab ibunda Viska.
“Pada waktu piket kelas juga ya, Bunda!” pinta Viska.
“Iya, Ika anak Bunda yang paling manis...” jawab ibunda Viska.
“Makasih Bunda.. Bunda baik deh.. Bunda kok cantik sih bunda..” ujar Viska memeluk bundanya.
“Akan Bunda lakukan apapun untuk membuatmu bahagia nak.. Sebelum.. Vina! Bukankah kamu sudah bertekad untuk berusaha tegar? Kuatkan hatimu!” batin ibunda Viska.
“Aku kan sebenernya udah kangen banget sama Vino.. Aku kangen ngelihat senyumnya. Aku harus tegar! Aku harus kuat melawan sel-sel kanker itu! Kalaupun aku memang harus pulang ke rumah Tuhan, setidaknya aku bisa ngasi kenangan manis sebelum aku pergi..” batin Viska dalam pelukan hangat bundanya.

* * *

“Vino.. Cuma dia adalah penyemangat hidupku.. Mungkin hanya dia yang bisa membuat aku bertahan sampai sejauh ini..” batin Viska.
“Woi.. Kamu nggak denger panggilan untuk ketua kelas dan wakilnya untuk berkumpul di aula ya? Ngapain kamu masih disini?” tegur Kinan mengagetkan Viska.
“Duch, sory.. Sory! Aku nggak konsen nieh! Ngomong-ngomong, Vino mana? Kok nggak keliatan dari tadi?” tanya Viska.
“Ah, palingan dia belum dateng! Buruan gih!” ujar Kinan sambil mengambil sekrop.
Masih dengan sapunya, Viska berlari menuju aula. Telah banyak anak yang berkumpul. Pak guru olah raga baru membuka suara ketika Viska tepat masuk barisan. Sambil mendengarkan Pak Guru, diamainkan pula sapu yang dibawanya. Sampai suatu ketika, dari kejauhan dilihatnya dua sosok lelaki membawa sapu sedang menuju aula. Makin dekat, salah seorang lelaki berlari menuju Viska.
“Kok baru dateng Vin?” tanya Viska pada laki-laki yang baru datang tersebut.
“Iya.. Tadi aku kesiangan..” jawab Vino dengan senyum lebar.
Tak sampai satu menit, segera mereka alihkan perhatian mereka kepada Pak Guru. Setelah puas menyampaikan informasi dan mengelap ludah dibibirnya, Pak Guru membubarkan barisan tersebut.
Viska berjalan bersama Vino menuju ruang kelas. Di tatapnya Viono dalam-dalam. Tak lama kemudian, banyak anak kelas 9 yang berdatangan, untuk menempuh Ujian Nasional mereka.
“Ya... Udah mau pulang... Berarti, aku baru bisa ketemu Vino dua hari lagi donk... Duh.. Seandainya dia ngerti, betapa tersiksanya aku kalau nggak ketemu dia.. Semangat hidupku jadi ilang..” batin Viska ketika berbaris di sebelah Vino di lapangan basket.
“Huf! Inget Viska! Kamu harus tegar! Kamu harus kuat! Ingat? Tuhan sudah mengatur semuanya..” batinnya kemudian mengingatkan tekadnya.
Setelah siswa siswi dibubarkan, segera Viska mengambil sepeda, dan menuntunnya. Dari kejauhan, di lihatnya Vino menuntun sepeda dengan Rezky.
“Sebenarnya, aku ingin pulang bersama mereka.. Tapi, terakhir aku pulang bersama mereka, aku nggak dihiraukan dan akhirnya ditinggalin.. Lebih baik aku pulang sendiri..” batin Viska.
“Aku nggak tau rasa apa ini. Yang aku tau, aku sayang kamu Vino.. Sayang banget.. Kamu adalah alasan, untuk aku tetap berjuang melawan penyakitku.. Tetaplah bersamaku Vino.. Aku tetap ingin bersamamu. Meski mungkin, kamu hanya menganggap aku sebagai sahabatmu...” batin Viska sambil mengayuh sepedanya.

Friday, November 27, 2009

cuplikan sebelumnya nieh..

Posted by Dyah Sathya On Friday, November 27, 2009
.........................

“Eh Vis, tadi kamu salah berapa?” tanya Kinan diparkiran sekolah.
“Em, nggak ada..” jawab Viska sambil mengeluarkan sepeda birunya.
“Eh, tadi kan aku duduk bareng Ira, tau nggak dia bilang apa?” tanya Kinan.
“Emangnya dia bilang apa?” jawab Viska.
“Ya, dia cuman komentar..” ujar Kinan.
“Komentar apa?” tanya Viska.
“Dia bilang ‘Eh, sekarang kok Viska pacaran aja ya sama Vino kerjaannya?’gitu..” jawab Kinan.
“Itu namanya dia nanya! Terus, kamu jawab apa?” tanya Viska.
“Ya, aku jawab aja nggak tau. Kan, aku emang nggak tau..” jawab Kinan.
“Aku nggak pacaran kok sama Vino..” ujar Viska membela diri.
“Iya.. Tapi, kelihatan kayak orang pacaran..” jawab Kinan tak mau kalah.
“Peduli amat kata orang...” ujar Viska seraya mengayuh sepedanya dan berpisah dengan Kinan.
“Ternyata, bener yang dibilang buku itu. Tuhan memang sudah mengatur semua.. Seneng dech, bisa nyanyi berdua bareng Vino.. Oh Vino...” pikirnya sambil tersenyum disiang itu.

* * *

“Oh Tuhan... Aku ketiduran...” teriak Viska di pagi itu. Diliriknya jam di dinding. Pukul 05.55. Segera ia bergegas mandi dan mengemas buku pelajarannya. Tak sempat ia sarapan, segera ia kayuh sepedanya. Namun ada yang ia lupakan. Obatnya.
“Oh iya. Aku kan belum selesai buat kliping. Tinggal ditempel sieh..” pikirnya seraya mengayuh lebih cepat. Sesampainya disekolah, segera ia parkirkan sepedanya, dan menuju padmasana. Masih saja ia sempatkan untuk sembahyang.
Setelah sembahyang, segera ia berlari menuju kelasnya. Diambilnya buku gambarnya, ditempelnya kertas-kertas koran bergambar manusia itu. Betapa beruntungnya dia, karena memiliki sahabat-sahabat yang selalu siap membantunya. Alhasil, selesailah tugas klipingnya tepat waktu.
“Eh Vis, tugasnya boleh kliping, boleh gambaran kan?” tanya Vino.
“Yang ku denger sieh gitu..” jawab Viska.
“Arrgh.. Aduh..” tiba-tiba Viska meringis.
“Kenapa Vis, lagi dapet ya?” tanya Vino sambil tersenyum.
“Enggak! Kayaknya lambungku deh..” jawab Viska memegangi perut kirinya. Nampaknya penyakit Viska tak sesederhana yang dikatakannya.
“Oh Tuhan.. Kuatkanlah hamba ya Tuhan..” batin Viska.
Pak Guru melukis perlahan memasuki ruang kelas.
“Ya, anak-anak, silahkan dikumpulkan gambarannya..” ujar Guru kesenian yang tak begitu tinggi tersebut.
“Pak, klipingnya juga pak?” celetuk seseorang.
“Kliping? Tugas anak-anak adalah membuat gambaran. Bukan kliping!” jawab Pak Guru.
Deg.
Jantung Viska seperti berhenti berdetak.
“Oh Tuhan.. Jangan bilang aku salah tugas.” batin Viska khawatir.
“Tapi Pak, waktu ini bapak bilang boleh buat kliping, boleh gambaran!?!” protes Vino.
“Maksud bapak, gmabarannya itu, boleh mencontoh dari koran. Tapi, tugas anak-anak adalah membuat gambaran..” jelas Pak Guru.
Deg.
“Oh Tuhan.. Apa maksud semua ini?” batin Viska sedikit panik.
Segera ia meraih buku gambarnya dan menggoreskan pensilnya.
“Waktu tinggal setengah jam. Bakal selesai nggak ya?” ujar Viska mulai panik.
“Nan, bantuin aku donk!” pinta Viska.
“Aduh.. Aku lagi ngerjain punya temen-temen nih..” tolak Kinan.
“Emang aku bukan temenmu? Ah, udahlah. Aku buat sendiri aja.” batin Viska, membuat kepalanya terasa semakin berat.
“Pak Gurunya gimana sih? Waktu ini katanya boleh buat kliping..” keluh Vino yang juga membuat kliping.
“Ya, nggak apa-apa juga kan. Jugaan kamu udah punya gambaran yang cuma tinggal diwarna aja..” jawab Rezky yang sudah mengumpul gambarannya.
“Ya... Tapi, kan kasian Viska. Udah capek-capek buat, tapi nggak dikumpul..” jawab Vino.
“Udahlah Vin, nggak apa-apa..” celetuk Viska kelihatn pasrah.
Akhirnya, dengan sedikit tergesa-gesa, selesailah gambaran Viska.
“ Huf!! Ya, tak apalah.. Akhirnya selesai juga.” batin Viska sedikit lega. Setidaknya dapat mengurangi beban karena sakit di kepala dan perut kirinya.
“Mau aku bantu Vin?” tanya Viska melihat Vino belum menyelesikan gambarannya, sementara bel pulang sekolah tinggal lima meint lagi.
“Em, iya dah. Tolong bantu tebelin!” jawab Vino sedikit panik.
“Yang pasti harus selesai sekarang! Aku nggak mau tugas ini jadi bahan pikiran.” ujar Vino kemudian. Entah bagaimana, Viska dan Vino kini telah satu tempat duduk.
“Oh Tuhan... Getaran ini.. Oh.. Nyaman banget.” batin Viska seraya menebalkan garis pada gambar burung garuda Vino.
“Ya ampun.. Thanks banget ya Vis.. Tadi aku minta bantuannya Rezky, dia nggak mau bantu..” ujar Vino ditengah kepanikannya.
“Iya.. Jugaan aku udah dinilai..” jawab Viska.
“Lagian.. Kamu hangat banget. Aku nyaman banget duduk disampingmu.. Jangankan ampe pulang sekolah, ampe besok pun aku ikhlas untuk duduk sama kamu..” ujar Viska dalam hati.
Nampaknya banyak yang memperhatikan, dan membicarakan mereka. Tapi, mereka tak mempedulikannya. Mereka tetap fokus menyelesaikan gambaran tersebut.
Teet... Teet... Teet... Bel pulang sekolah telah berbunyi. Pak Guru menggambar telah beranjak dari tempat duduknya.
Untungnya gambaran Vino sudah selesai. Segera Vino berlari dan mencegat Pak Guru kesenian itu.
“Huff! Akhirnya. Thanks ya Vis..” ujar Vino lega.
“Iya Vin..” jawab Viska.
Vino sudah bergegas keluar kelas. Sementara Viska masih di kelas, belum selesai mengemas bukunya.
“Thanks ya Vis..” ujar Vino dari jendela, untuk ke sekian kalinya.
“Tanpa kamu suruh pun, dengan senang hati aku bakal bantu kamu kok Vin..” batin Viska.
“Tuhan.. Thanks banget. Aku sekarang ngerti maksudMu untuk nakdirin aku salah tugas. Aku jadi makin deket sama Vino. Thanks banget Tuhan...” batin Viska tersenyum-senyum ketika mengambil sepedanya.
Dengan cepat ia kayuh sepedanya. Entah karena ia bersemangat, ia lapar, atau karena tidak tahan dengan rasa sakit di kepala dan perutnya, yang tak kunjung sirna.
Viska melangkah gontai memasuki kamarnya. Hingga akhirnya kedua kakinya tak kuat menopang tubuhnya. Dan Viska ambruk, tepat di tempat tidur.

* * *

Cuplikan novelku. Dilarang membajak!

Posted by Dyah Sathya On Friday, November 27, 2009
Berusaha Tegar

Cicit burung bersahutan menyambut datangnya pagi. Taman rumput yang mengelilingi lorong-lorong putih itu nampaknya masih basah oleh embun. Beberapa wanita muda dengan seragam putihnya sudah lalu lalang melintasi lorong tersebut. Ada yang mendorong seseorang di kursi roda, ada pula yang mendorong meja aluminium berisi berbagai peralatan. Kadang ada bapak-bapak atau wanita paruh baya mengenakan jas putih lewat dengan steteskopnya. Tapi, kamar 303 Rumah Sakit Suka Sehat terlihat sepi, hanya beberapa kali terdengar suara elektrokardiograf berbunyi.
“Jam berapa sekarang?” batin Viska, sadar dari komanya. Dilihatnya sang bunda sedang tidur pulas di sofa dengan wajah kelelahan. Diliriknya jam bulat yang tergantung di tembok krem menghadap tempat tidurnya. Pukul 07.15.
“Oh Tuhan! Sudah pagi! Aku bisa terlambat ke sekolah! Bagaimana ini? Kenapa Bunda nggak bangunin aku?” batinnya panik. Ia kemudian mencoba bangun. Tapi, badannya yang lemah dan sakit di kepalanya, mengharuskan ia kembali berbaring. Dirasakannya perutnya terasa begitu mual.
Masih terlihat kepanikan diwajahnya. Diperhatikannya sekelilingnya. Tak lama kemudian, ia sadar akan sesuatu.
“Ini kan bukan kamarku. Di mana ini?” pikirnya melihat ruangan putih dengan sofa merah marun dan tempat tidur serta selimut putih yang ditidurinya. Dilihatnya pula masker oksigen di hidungnya dan beberapa kabel di tubuhnya yang terhubung dengan elektrokardiogram.
“Deviska.. Deviska. Masa kamu belum sadar juga sih? Ini kan rumah sakit..” ujarnya kepada dirinya sendiri.
“Tapi, kenapa aku ada di rumah sakit? Sekarang hari apa?” batinnya. Dikumpulkannya semua kekuatannya, meski perutnya masih terasa mual.
“Bunda..” panggilnya pelan.
“Bunda... Bunda...” dicobanya lebih keras.
Terlihat dari kejauhan bundanya segera bangun dan menghampirinya.
“Kamu sudah sadar nak?” tanya sang Bunda cemas ditengah wajahnya yang lelah.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska lirih.
“Kemarin sepulang sekolah, Bunda melihat kamu berbaring di tempat tidur. Bunda kira kamu tidur. Tapi, kamu tidak bergerak sayang.. Jadi, karena panik, Bunda lalu membawa kamu ke Rumah Sakit ini. Kata Dokter keadaan kamu sangat kritis. Bunda sangat takut kehilangan kamu nak... Tapi, Bunda sangat senang, sekarang kamu sudah bangun dari komamu Ika, anak Bunda..” jelas Sang Bunda sedikit menitikkan air mata. Viska terdiam.
“Bunda.. Mual..” keluh Viska.
“Oh iya.. Saking senangnya, Bunda sampai lupa untuk memanggil Dokter sayang.. Tunggu sebentar, Bunda panggil dulu ya! Kamu jangan bangun dulu dari tempat tidur! Jangan tinggalin Bunda ya nak..” ujar Ibunda Viska, dan kemudian berlari ke luar ruangan.
“Bunda sampai segitunya. Separah apa sih sakitku?” batinnya di tengah kesendiriannya.
Mual di perutnya makin menjadi-jadi. Dicobanya untuk menahan, tapi semakin ditahan, mual itu tak tertahankan. Akhirnya, dengan kekuatannya yang tersisa, dicobanya untuk bangun.
Dilihatnya ada pintu bertuliskan Toilet di kiri tempat tidurnya. Dilepaskannya masker oksigen dan beberapa kabel yang menempel ditubuhnya. Tapi, kepalanya kemudian terasa sangat berat, lebih berat dari sebelumnya. Perlahan ia bangun, mencoba menegakkan tubuhnya. Tapi, belum sempat ia melangkah, dirasakannya paru-parunya tak bisa bernafas dengan normal. Hingga ia merasa tak kuat menahannya, dan ia ambruk kembali.

* * *

“Suster, siapkan alat-alatnya!” teriak seorang lelaki memakai jas putih yang datang bersama Ibunda Viska. Ibunda Viska terlihat sangat panik mendapati anaknya terkulai lemas di lantai.
Dengan sigap salah satu suster rumah sakit memasang masker oksigen, dan menempelkan kabel-kabel pada tubuh Viska. Namun elektrokardiogram tidak menunjukkan adanya denyut apapun.
Suster satunya lalu menyiapkan suatu alat yang lebih mirip sepasang setrika yang diisi suatu cairan. Dokter lalu mengambil alat tersebut dan menggosok-gosokkannya.
“Satu.. Dua.. Tiga!” Dokter memberi aba-aba dan meletakkan sepasang alat yang mirip setrika itu ke dada Viska. Terlihat tubuh Viska mengejang. Namun elekrokardiograf tidak menunjukkan reaksi apapun.
“Satu.. Dua.. Tiga!” seru Dokter untuk yang kedua kalinya. Kembali dokter meletakkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang, namun elektrokardograf masih tak menunjukkan adanya reaksi. Terlihat dari kejauhan ibunda Viska membaca doa sambil menitikkan air mata.
“Tuhan memberkati! Satu.. Dua.. Tiga!” seru dokter untuk yang ke tiga kalinya, dan menempelkan alat tersebut ke dada Viska. Tubuh Viska mengejang untuk yang ketiga kalinya. Tapi, akhirnya lektrokardogram menunjukkan adanya denyutan.
“Selamat datang kembali Deviska..” ucap Dokter sambil menyerahkan alat itu kepada suster.
Ibunda Viska berlari menghampiri anaknya. Dipeluknya sang anak erat-erat, seolah tak membiarkan seorang pun merebutnya.
“Ika kenapa Bunda?” tanya Viska yang tersadar di pelukan sang bunda.
“Tadi kamu ninggalin Bunda nak.. Tapi, sekarang kamu sudah kembali. Bunda nggak akan ngebiarin kamu pergi lagi...” jawab sang Bunda menitikkan air mata.
Viska tak sepenuhnya mengerti dengan perkataan bundanya. Tapi ia sangat nyaman berada dalam dekapan hangat orang yang telah melahirkan dan membesarkannya itu.


* * *

“Bunda.. Ika pulang.. Itu surat apa Bunda? Hasil lab kemarin ya?” tanya Viska baru tiba di rumah ketika melihat ibundanya menitikkan air mata membaca sesuatu dari amplop coklat besar yang ada dalam genggamannya.
“Ah, bukan surat apa-apa.. Hanya surat tak berharga..” jawab ibundanya segera memasukkan surat itu kedalam amplopnya.
“Bunda bohong!! Bunda, Viska bukan anak kecil lagi yang mudah bunda bohongi.. Viska bisa baca tulisan di amplop itu. Viska sakit apa bunda?” tanya Viska.
“Ah, tidak.. Kamu tidak apa-apa kok sayang..” jawab ibundanya mencoba tidak terisak.
“Sudahlah Bunda! Tak ada yang perlu Bunda tutup-tutupi!” ujar Viska merebut amplop coklat besar itu.
“Apa? Ika.. Ika sakit kanker otak stadium 2? Nggak! Nggak mungkin! Nggak mungkin!!!” teriak Viska begitu membaca hasil laboratorium dan melihat hasil ronsen otaknya.
“Nak, tenang nak.. Bunda juga tak percaya..” ujar ibunda Viska memeluk anaknya.
“Ika.. Ika akan mati bunda..” isak Viska.
“Nggak sayang.. Nggak! Kamu akan terus hidup sama mama..” jawab ibunda Viska juga terisak.
“Nak, nanti ikut bunda ke rumah sakit ya! Dokter menyarankan, agar kamu diterapi radiasi dan kemoterapi.. Karena letak kankermu berada di sistem saraf. Jadi, tidak memungkinkan untuk operasi..” ujar ibunda Viska melepaskan pelukannya.
“Nggak! Ika nggak mau terapi radiasi atau kemoterapi! Kalaupun Ika emang musti mati, Ika nggak mau mati botak Bunda! Dan Ika juga nggak mau menghabiskan sisa waktu Ika di rumah sakit! Ika nggak mau! Biarkan Ika hidup normal seperti orang sehat lainnya! Ika ingin memanfaatkan sisa waktu Ika untuk ngelakuin hal yang Ika sukai! Kalau hanya minum obat, okey Ika lakuin! Tapi, tidak dengan rumah sakit, terapi radiasi atau kemoterapi! Tolong ngertiin Ika Bunda!” ujar Viska meneteskan air mata..
“Tapi nak..” belum selesai ibundanya bicara, Viska sudah berlari menuju kamarnya. Kenang ibunda Viska mengingat enam bulan yang lalu, ketika Viska divonis kanker otak stadium 2 oleh dokter. Dilihatnya putrinya sedang tertidur pulas.
“Viska pasti menderita dengan masker oksigen itu..” pikir ibunda Viska. Ditatapnya putrinya lekat-lekat, sampai kehadiran dokter membuyarkan lamunannya.

* * *